Media massa merupakan salah satu alat yang
digunakan untuk berkomunikasi setiap hari, kapan saja dan dimana saja antara
satu orang dengan orang yang lain. Setiap orang akan selalu memerlukan media
massa untuk mendapatkan informasi mengenai kejadian di sekitar mereka, dengan
media massa pula orang akan mudah mendapatkan informasi yang mereka butuhkan
pada saat tertentu mereka menginginkan informasi. Disisi lain manusia dapat
berbagi kejadian – kejadian yang terjadi di sekitar mereka kepada orang lain.
Sehingga antara satu orang dengan orang lain di daerah yang berbeda dapat
melakukan pertukaran informasi mengenai kejadian disekitar mereka melalui media
massa.
Perlu ditekankan bahwa dalam hal ini yang
dimaksud media adalah media atau alat yang menunjuk pada hasil produk teknologi
modern sebagai saluran dalam komunikasi massa, bukan media tradisional seperti
wayang, kethoprak, ludruk, dan lain sebagainya. Sedangkan media massa modern
terbagi menjadi dua yaitu media massa yang tercetak dalam sebuah kertas (media
cetak) dan media yang terdiri dari perangkat mesin – mesin (media elektronik),
media massa cetak misalnya majalah, surat kabar, dan lain sebagainya. Serta
media elektronik seperti radio dan televisi (Nuruddin, 2009: 3). Sehingga dalam
hal ini media yang dimaksud adalah media yang merupakan hasil dari adanya
teknologi terbaru atau modern yang dapat menyampaikan sebuah informasi terkini
yang meliputi kehidupan bermasyarakat dan penting diketahui oleh masyarakat.
Komunikasi massa meliputi semua lapisan
masyarakat atau khalayak ramai dalam berbagai perbedaan, perbedaan tersebut
terdapat pada usia, agama atau keyakinan, pendidikan, status sosial dan semua
yang terjangkau oleh saluran media massa. Ada hubungan timbal balik antara
media dengan khalayak, khalayak dapat mempengaruhi media dan sebaliknya media
juga dapat mempengaruhi khalayak. Media dapat menyampaikan hal penting untuk
diketahui masyarakat sehingga masyarakat mengerti dan mengetahui kejadian yang
sedang terjadi, begitu pula sebaliknya masyarakat dapat menghubungi media untuk
menyampaikan informasi yang ada disekitar mereka melalui nomor – nomor yang
dapat dihubungi pada suatu media.
Media massa terbagi menjadi dua jenis yaitu
media massa cetak dan media massa elektronik. Media massa elektronik adalah
sarana komunikasi massa melalui perangkat – perangkat elektronik seperti
televisi dan radio. Sedangkan media cetak adalah sarana komunikasi massa
melalui tulisan seperti surat kabar, majalah, tabloid, dan lain – lain. Media
massa elektronik salah satu media yang memiliki kekhususan, hal itu terletak
pada dukungan elektronik dan teknologi yang menjadi kekuatan dari media yang
berdasar pada elektronik. Salah satu kelebihan media elektronik adalah sifatnya
yang real time atau disiarkan secara langsung apabila ada peristiwa atau
kejadian yang sedang terjadi. Menurut khalayak, media elektronik sifatnya lebih
instan daripada media cetak, sehingga media elektronik lebih banyak dipilih
oleh khalayak daripada media cetak.
Teori peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi
massa yang oleh para pakar komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula hypodermic
needle theory (teori jarum hipodermik). Teori ini ditampilkan tahun 1950-an setelah
peristiwa penyiaran kaleidoskop stasiun radio siaran CBS di Amerika berjudul
The Invansion from Mars Effendy.1993: 264-265).
Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki
kekuatan yang sangat perkasa, dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa.
Seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada
khalayak yang tidak berdaya (pasi). Pengaruh media sebagai hypodermic injection
(jarum suntik) didukung oleh munculnya kekuatan propaganda Perang Dunia I
(1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945)
Teori efek media lainnya adalah the multi
step flow (atau banyak tahap). Survei dalam teori ini dilakukan tahun 1940-an
berkenaan dengan proses pengaruh sosial yang menunjukkan model yang sangat berbeda
dari model jarum hipodermik. Banyak bukti penelitian yang mendukung model
banyak tahap ini. Sebagian besar orang menerima efek media dari tangan kedua,
yaitu opinion leaders (para pemuka pendapat) yang mnemilikei akses lebih dahulu
pada media massa.
Teori arus multi tahap mendapat krtitik juga.
Orang-orang dalam kelas sosia yang berbeda membuat interpretasi berbeda pula
tentang media. Orang-oran cenderung berbicara dengan orang lain yang memiliki
kesamaan dalam pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan latar belakang keluarga.
Mereka cenderung menginterpretasi isi media melalui diskusi dengan kelompok-kelompok
kunci dari orang-orang yang disebut interrelative communities atau peer groups.
Mereka membentuk komunitas alami seperti sebuah kcluarga, tetangga, himpunan
gereja, yang juga mencakup orang-orang yang turut menafsirkan dan memperkuat
pesan-pesan media, seperti banyaknya neusgroup (agen kelompok berita) pada
World wide Web. Dalam teori ini dinyatakan hasil komunikasi antarpersona lebih
menonjol dibandingkan dengan terpaan media massa.
Teori proses selektif (selective processes
theory) ini merupakan hasil penelitian lanjutan tentang efek media massa pada
Perang Dunia II yang mengatakan bah penerimaan selektif media massa mengurangi
sejumiah dampak media. Teori ini menilai orang-orang cenderung melakukan
selectiue exposure (terpaan selcktif). Mereka menolak pesan yang berbeda dengan
kepercayaan mereka.
Tahun 1960 Joseph Klapper menerbitkan kajian
penelitian efek media massa yang tergabung dalam penelitian pascaperang tentang
persuasi, pengaruh persona dan proses selektif. Klapper menyimpulkan bahwa
pengaruh media itu lemah persentase pengaruhnya kecil bagi pemilih dalam
pemilihan umum, pasar saham dan para pengiklan.
Selama beberapa tahun kesimpulan Klapper
dirasakan kurang memuaskan. Penelitian dimulai lagi dengan memakai pendekatan baru,
yang dapat menjelaskan pengaruh media yang tak dapat disangkal lagi, terutama televisi,
terhadap remaja. Muncullah teori baru efek media massa yaitu social leamning
theory (teori pembelajaran sosial). Teori ini kini diaplikasikan pada perilaku
konsumen, kendati pada awalnya menjadi bidang penelitian komunikasi massa yang
bertujuan untuk memahami efek terpaan media massa.
Berdasarkan hasil penclitian Albert Bandura, teori
ini menjelaskan bahwa pemirsa meniru apa yang mereka lihat di televisi, melalui
suatu proses obseruational learning (pembelajaran hasil pengaumatam). Klapper
menganggap bahwa "ganjaran" dari karakter TV diterima mereka sebagai
perilaku antisosial, termasuk menjadi toleran terhadap perilaku perampokan dan
kriminalitas, menggandrungi kehidupan glamor seperti di televisi.
Model difusi inovasi akhir-akhir ini banyak
digunakan sebagai pendekatan dalam komunikasi pembangunan, terutama di
negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia atau dunia ketiga. Tokohnya
Everett M. Rogers mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi
dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam Jangka waktu tertentu di antara
para anggota suatu system sosial.
Difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi
yang berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru. Sedangkan komunikasi
didefinisikan sebagai proses di mana para pelakunya menciptakan informasi dan
salig bertukar informasi tersebut untuk mencapai pengertian bersama. Di dalam
pesan itu terdapat ketermasaan (neuness) yang memberikan ciri khusus kepada
difusi yang menyangkut ketakpastian (uncertainty). Derajat ketidakpastian seseorang
akan dapat dikurangi dengan jalan memperoleh informasi (lihat Effendy, 1993;
Severin dan Tankard, 1988; McQuail dan Windahl, 1993; Liliweri, 1991).
Unsur utama difusi adalah (a) inovasi; (b)
yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu; (c) dalam jangka waktu tertentu;
(d) diantara para anggota suatu sistem sosial. Inovasi adalah suatu ide, karya
atau objek yang dianggap baru oleh seseorang. Ciri-ciri inovasi yang dirasakan
oleh para anggota suatu sistem sosial menentukan tingkat adopsi; (a) relative
aduantage (keuntungan relatif; (b) compatbility (kesesuaian); (c) complexity
(kerumitan); (d) trialability (kemungkinan dicoba); (e) obseruability
(kemungkinan diamati).
Everett M. Rogers dan Floyd G. Shoemaker
mengemukakan bahwa teori difusi inovasi dla prosesnya ada 4 (empat) tahap,
yaitu: pengetahuan, persuasi, keputusan dan konfirmasi.
Menurut teori kultivasi, media, khususnya
televisi, merupakan sarana utama kita untuk belajar tentang masyarakat dan kultur
kita. Melalui kontak kita dengan televisi (dan media lain), kita belajar
tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaannya.
Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat televise membentuk
suatu citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan. Sebagai contoh,
pecandu berat televisi menganggap kemungkinan seseorang untuk menjadi korban
kejahatan adalah 1 berbanding 10. Dalam kenyataan angkanya adalah 1 berbanding
50 Pecandu berat mengira bahwa 20% dari total penduduk dunia berdiam di Amerika Serikat. Kenyataannya
hanya 6%. Pecandu berat percaya bahwa persentase karyawan dalam posisi
manajerial atau profesional adalah 25%. Kenyataannya hanya 5%.
Media massa pada
dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni media massa cetak dan media
elektronik.
a.
surat kabar,
b.
koran,
c.
majalah,
d.
tabloid,
e.
brosur,
f.
undangan.
a.
radio siaran,
b.
televisi,
c.
film,
d.
media on-line (internet).
Film (Gambar
bergerak) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa. visual di belahan dunia
ini. Lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi dan
film video laser setiap minggunya.
Film lebih dahulu
menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi. Menonton flm ke
bioskop ini menjadi aktivitas popular bagi orang Amerika pada tahun 1920-an sampai
1950-an.
Industri film
adalah industri bisnis. Predikat ini telah menggeser anggapan orang yang masih
meyakini bahwa. fim adalah karya seni, yang diproduksi secara kreatif dan
memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan)
yang sempurna. Meskipun pada kenyataanya adalah bentuk karya seni, industri film
adalah bisnis yang memberikan keuntungan, kadang-kadang menjadi mesin uang yang
seringkali, demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu sendiri (Dominick.
2000: 306).
Seperti halnya televisi siaran, tujuan
khalayak menonton film terutama adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi
dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan
persuasif. Hal ini pun sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun 1979,
bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional dapat digunakan sebagai media
edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character
building (Effendy, 1981: 212). Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film
nasional memproduksi film-film sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan
film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang.
Analisa efek Film menurut Steven
M.Chafee.
Ø Efek ekonomi
Dengan adanya film, menjadikan lapangan pekerjaan bagi bidang tertentu
yang dibutuhkan didalam pembuatan film seperti editor, cameramen, actor/aktris,
dll.
Ø Efek sosial
Didalam film pun mengajarkan kita bagaimana cara bersosialisasi dengan
benar didepan umum atau dengan kerabat dekat.
Ø Penjadwalan kegiatan sehari-hari
Dijaman sekarang dengan banyaknya situs dan aplikasi menonton film
secara instan tanpa harus pergi ke bioskop menjadikan kita mudah untuk menonton
film dimana saja, dan mungkin termasuk salah satu bagian dari kegiatan
sehari-hari.
Ø Efek hilangnya perasaan tidak nyaman
Jika kita sedang bosan atau jenuh, film komedi atau film dengan genre
yang disukai dapat dijadikan sebagai salah satu penghilang rasa bosan atau
disaat kita sedang jenuh.
Ø Efek menumbuhkan perasaan tertentu
Seperti halnya menonton film horror yang dapat menimbulkan perasaan
tertentu seperti takut atau waspada setelah menonton film horror itu.